Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah" 3

Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah" 3

Silsilah

“Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah”

oleh asy-Syaikh DR. Ahmad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah.

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Adanya anggapan bahwa setiap orang yang menampakkan Salafiyyah, maka dia dianggap sebagai Salafi yang terpercaya ilmu dan agamanya.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Menyambut (mengundang) sebagian penuntut ilmu, sebelum bertanya kepada para ‘ulama tentang kondisi mereka.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Mengambil ilmu dari orang yang sifat fujur lebih dekat padanya dibandingkan sifat taqwa.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Tidak tahu bahwa seseorang yang diambil ilmu darinya, haruslah seorang yang disamping dia itu berilmu, harus ada pula padanya : taqwa kepada Allah.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Penilaian terhadap perselisihan antara kebenaran dan kebatilan sebagai perselisihan pribadi!! Berapa banyak yang bergembira dengan penilaian tersebut, baik dari kalangan para mumayyi’, mukhaddzil (penggembos), bahkan para haddadi!!!”

 sumber:miratsul-anbiya.net
Read More
Silsilah "Diantara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah 2"

Silsilah "Diantara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah 2"

Silsilah

“Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah”

oleh asy-Syaikh DR. Ahmad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah.

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Adanya penuntut ilmu yang telah tampil (berdakwah dan mengajar) namun tidak mau berhubungan dan merujuk kepada para ‘ulama. Bahkan merasa tidak butuh kepada para ‘ulama. Ini adalah penyimpangan yang sangat berbahaya!”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Sebagian penuntut ilmu berani membuat kaidah-kaidah yang tidak ada salaf (pendahulu)nya. Hal itu dia lakukan semata-mata karena ujub terhadap diri sendiri, dan merasa diri berilmu.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Sebagian penuntut ilmu berusaha mengarahkan para syabab (para pemuda) untuk mengikut pendapat dan hawa nafsunya, dan menjadikannya sebagai patokan al-Haq. Adapun pendapat yang menyelisihinya, maka dianggap sebagai sikap keras atau sikap gegabah.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Menyikapi penuntut ilmu seperti menyikapi ‘ulama. Bahkan lebih mengedepankan mereka dibandingkan ‘ulama. Padahal bisa jadi dia itu tidak pantas disebut sebagai penuntut ilmu.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Sebagian orang-orang yang tampil (mengajar dan berdakwah) merasa diri sebagai orang ‘alim (berilmu) dan menggambarkan dirinya sebagai seorang yang adil dan sportif. Padahal hakekatnya dia tidak lebih dari seorang yang diam (tidak mengingkari) terhadap kebatilan, atau seorang mukhaddzil (orang yang menggembosi/menelantarkan manhaj yang haq).”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Adanya sebagian penuntut ilmu yang bertarbiyah (mendidik) salafiyyin untuk berta’ash-shub (fanatik) terhadap dia dan selalu tunduk terhadap pendapat-pendapatnya.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Menyifati seorang salafy yang berjalan di atas manhaj (yang haq) sebagai seorang yang ghuluw (ekstrim) dalam men-jarh, atau terburu-buru, atau gegabah.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Adanya sebagian penuntut ilmu yang menyebarkan pendapat-pendapat madzhab yang bertentangan dengan dalil, demi membuktikan bahwa di sana ada pendapat lain.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Tidak adanya kecintaan, hubungan, dan saling menasehati antara salafiyyin, sehingga barisan salafiyyin dengan mudah terpecah. Terutama di kalangan orang-orang yang menisbahkan diri kepada salafy hanya sebatas nama, namun dia menyelisihinya secara manhaj dan prinsip.”

 bersambung, insya Allah
sumber:miratsul-anbiya.net
Read More
Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah" 1

Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah" 1

Silsilah

“Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah”

oleh asy-Syaikh DR. Ahmad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah.
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Orang yang mengumpulkan harta atas nama Dakwah Salafiyyah, atau karena dia seorang salafy, tapi kemudian dia menggunakannya tidak pada tempatnya.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Adanya orang-orang yang tidak belajar ilmu syar’i secara bertahap dan belum beradab dengan adab-adab ilmu, namun tampil untuk mengajar dan berdakwah.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Adanya orang-orang yang menyukseskan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan pribadinya dengan mengatasnamakan Dakwah Salafiyyah, namun tampil untuk mengajar dan berdakwah.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Masuknya sebagai orang-orang mutalawwin dalam barisan salafy. Sehingga dia pun berhasil mengadu domba dan mengobarkan fitnah, dalam tampilan dia sebagai juru nasehat.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Sebagian Salafiyyn masuk ke permasalahan-permasalahan khilaf, dan dia berani memutuskan sendiri, bahkan berani menghukumi terhadap orang yang lebih berilmu darinya. Ini termasuk adab yang jelek.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Sebagian penuntut ilmu berupaya mengadu domba dan mengacaukan terhadap Salafiyyin yang jujur, yang sedang berhadapan para penyelisih/penentang kebenaran.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Menampakkan dan menyebarkan pendapat-pendapat yang syadz dan tertolak, yang tidak selaras dengan dalil dan prinsip yang salaf ada di atasnya. Ini di antara sikap yang dicela oleh para ‘Ulama Sunnah.”
bersambung, insya Allah
Sumber:  http://miratsul-anbiya.net
Read More
Tanda-tanda Bertambah dan Berkurangnya Iman

Tanda-tanda Bertambah dan Berkurangnya Iman

Tanda-Tanda Bertambah dan Berkurangnya Iman

[ asy-Syaikh al-'Allamah Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali rahimahullah ]

Iman, yang maknanya adalah ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan amalan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman akan bertambah dengan amal-amal shalih, dan akan berkurang dengan amal-amal jelek. Setiap kali seorang muslim menambah ketaatannya, maka bertambahlah keimanannya, dan akan semakin besar (iman tersebut) di dalam hatinya. Sebaliknya, setiap kali dia kurang dalam ketaatan, atau terjatuh dalam kemaksiatan, maka berkuranglah imannya. Dan iman bisa terus berkurang hingga tidak tersisa darinya dalam hati kecuali lebih kecil dari seberat biji sawi keimanan.
Jadi, bertambahnya iman itu dengan ketaatan, meninggalkan kemaksiatan dan menjauhinya. Bertambahnya iman dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Berkurangnya iman karena kurang dalam ketaatan, dan terjatuh dalam kemaksiatan.
Maka amalan memiliki kedudukan dalam timbangan syari’at. Memperbanyak amal shalih akan menambah iman seorang hamba. Meninggalkan kemaksiatan akan menambah iman seorang hamba. Jika sebaliknya, maka hasilnya juga sebaliknya. Kurang dalam ketaatan dan terjatuh pada hal-hal yang haram menyebabkan berkurangnya iman, sesuai dengan kadar kurangnya ketaatan tersebut, dan kadar kemaksiatan yang ia lakukan.
(faidah dari dars al-Lu’lu’ wal al-Marjan 5)
Read More
Demi Sebuah Kursi Kedudukan

Demi Sebuah Kursi Kedudukan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ الله ِ: مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr, dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-Anshariradhiallahu ‘anhum.”
 Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah (3/456).
 Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad (2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalamShahihul Jami’ (no. 5620).
 Al-Qadhi rahimahullah menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.
Makna Hadits
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang, kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing. Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.” (Syarh Ibnu Rajab)
Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia
Di dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.
Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang Kehancuran?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk meniru akhlak tercela kalangan Yahudi. Karena meniru akhlak tercela mereka akan berakhir dengan kehancuran dan celaka. Di antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus dijauhi adalah ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim mengaku memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke depan, hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi seorang penguasa? Allah Subhanahu wa ta’alaberfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
 Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah ketika menjelaskan ayat di atas menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa ta’alamenyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain
Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung kepada mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk meraih kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak mungkin diketahui secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang terhina di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan AllahSubhanahu wa ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan mafsadah, bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah meraih kekuasaan amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim rahimahullah)
 Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang pun yang memiliki ambisi untuk mendapatkan kekuasaan melainkan ia pasti senang menyebutkan kekurangan dan cela orang lain, sehingga dialah yang dikenal sebagai orang sempurna. Dia pun tidak senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain. Barangsiapa gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari kebaikan-kebaikannya.”
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu
Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja’ib Al-Atsar)
Al-Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, “Cinta kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak. Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib orang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)
Ibnu ‘Abdus rahimahullah berkata, “Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim dan bertambah tinggi derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan taufiq-Nya dan membuang ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142, Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah)
“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini hanyalah akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan menghilangkan akhlak buruk dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa yang ingin mendengarkan periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits, hendaknya ia berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia pun harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap kekuasaan.” (Muqaddimah Ibnu Shalah)
Salah satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama dunia senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa. Sementara ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar menjaga diri dari hal itu dan menyayangkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.
Namun dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan, telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui lisan sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir, Ibnul Jauzirahimahullah)
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Merusak pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan Syaddad bin Aus rahimahullah, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab. Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullah menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, merasakan manisnya mahabbah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. AllahSubhanahu wa ta’ala berfirman:
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah]
Termasuk Golongan Manakah Kita?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ambisi seorang hamba untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia Subhanahu wa ta’ala menyatakan:
مَآ أَغْنَىٰ عَنِّى مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّى سُلْطَٰنِيَهْ
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun. Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam kitab-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ كَانُوا۟ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوا۟ هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةًۭ وَءَاثَارًۭا فِى ٱلْأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ ٱللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مِن وَاقٍۢ
 “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Sesungguhnya manusia ada empat macam.
Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi, yaitu dengan durhaka kepada AllahSubhanahu wa ta’ala. Mereka adalah para raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti Fir’aun dan pengikutnya. Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah Azza wa jalla berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa senang bila pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini termasuk dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan keindahan. Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan.
Kedua, orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang rendahan.
Ketiga, orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan. Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang lain.
Keempat, para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia kedudukannya dibanding yang lain.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 35)
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat dirinya semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)
Ulama Islam dan Kedudukan
Kepada mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari Salaf, generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi para ulama? Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullah:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sesungguhnya bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka engkau akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang hadits ini, dengan tema Hukum Meminta Jabatan)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah di dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan kekuasaan. Berikut ini beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.
- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami rahimahullah menolak untuk diangkat sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau koyak kulit tubuhnya, dia tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka, Manshur pun ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi rahimahullah, salah seorang tabi’in, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam.”
- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi rahimahullah ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara para qadhi akan dikumpulkan bersama para penguasa?”
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri rahimahullah menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau beralasan, Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik oleh setan daripada harus memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan selain itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan al-qadha’ (yakni menjadi qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia melarikan diri.”
Marilah kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i, Muhammad bin Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin Manshur Ar-Razi, Abdullah bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain. Mereka berusaha menjauhi kursi kedudukan. Benar-benar mengagumkan.
Apabila demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam? Dusta dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak, jika kita tidak menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan diinjak-injak? Maka, jawabnya ada pada pendirian seorang Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Disebutkan dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh, sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala pasti akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb yang akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan kokoh.”
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com
Read More
Salafy Kecilku

Salafy Kecilku

“Ustadzah, gambarku sudah selesai!”. Tiba-tiba suara nyaring memecah keheningan. “Aku juga, aku juga!” yang lain pun susul-menyusul. Makhluk-makhluk kecil itu pun berhamburan, berebut menuju seorang perempuan di depan kelas yang melayani mereka dengan sabar. Ustadzah, begitu mereka memanggilnya. Senyuman ia tebarkan sembari menenangkan mereka……
Demikian kurang lebih potret keseharian sebuah taman kanak-kanak salafi dengan ujung tombak para perempuan yang akrab dengan sebutan ustadzah. Walaupun mereka sadar ilmu mereka tidak seberapa. Lelah dan letih tidak mereka hiraukan demi pendidikan generasi salafi. Ya, pendidikan generasi salafi.
Mau kita bawa kemana pendidikan generasi salafi kita?
Cita-cita apa yang ingin kita tanamkan di benak anak-anak kita?
Gantungkan cita-citamu setinggi langit?..tidak cukup!.
Tapi menjulang tinggi menggapai sorga Alloh ‘azza wa jalla.
Pendidikan kita bukan mencetak hamba-hamba dinar, bukan pula pemburu gelar tapi mencetak muwahhid mujahid sejati. Mari kita lihat pendidik terbaik yang telah berhasil mencetak generasi terbaik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala memberi wejangan kepada Ibnu Abbas: “Wahai anak muda! Jagalah Alloh niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Alloh niscaya kau akan dapati Dia dihadapanmu. Jika kau meminta, mintalah kepada Alloh. Dan jika kau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Alloh. Ketahuilah! jika umat ini berkumpul untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan mampu memberimu manfaat kecuali apa yang telah Alloh tetapkan untukmu dan jika mereka berkumpul untuk menimpakan madhorot kepadamu mereka tidak akan mampu menimpakan madhorot kecuali apa yang telah Alloh tetapkan menimpamu…”. [1]
Subhanalloh!. Bayangkan para salafi kecil yang tumbuh dengan aqidah seperti itu menancap kokoh di dada-dada mereka! Generasi yang tidak mengenal takut kecuali kepada Alloh, tidak beribadah kecuali kepada Alloh. Generasi yang kokoh diatas tawakal kepada Alloh semata.
Itu semua tidak lepas dari peran seorang ustadzah. Disela-sela kesibukannya melayani keluarga tercinta, ia sempatkan berjuang mendidik generasi salafi. Mereka tidak mengenal istilah sertifikasi. Yang mereka tahu salafi kecil bisa membaca dan menulis. Yang mereka tahu salafi kecil bisa membaca Al Qur’an. Betapa mulia amalan mereka.
Wahai saudariku ikhlaskan amalanmu untuk Alloh! Dan berharaplah balasan-Nya!
Kuberi engkau kabar gembira dari Rasulullah, beliau bersabda: ” Sesungguhnya Alloh dan para malaikatnya dan penduduk langit dan bumi sampai semut dalam sarangnya dan ikan-ikan bersholawat (mendoakan dan memintakan ampunan) atas orang-orang yang mengajarkan manusia kebaikan” [2]
Besarkan harapanmu kepada Alloh dan bergembiralah tatkala salafi-salafi kecilmu tumbuh menjadi mujahid-mujahid tangguh pengibar panji dakwah salafiyah di bumi pertiwi!…biidznillahi ta’ala.
_________________________
[1] riwayat At Tirmidzi dan dishohihkan oleh Syaikh Al Wadi’i dan Syaikh Al Albani
[2] riwayat At Tirmdzi dan dihasankan syaikh Al Albani dalam Al Misykah.
ditulis oleh : Abu Harits Maos – Daarul Hadits Fyus Yaman
sumber: ibnutaimiyah.org
Read More
Inilah Manusia

Inilah Manusia

Penulis: Al Ustadz Idral Harits Hafizhahullah 
MUKADDIMAH
 Inilah Manusia Keberadaannya adalah paling akhir, setelah ‘Arsy, qalam (pena), langit dan bumi beserta seluruh isinya. Seakan-akan, semua disediakan untuk memenuhi kebutuhan makhluk terakhir ini. Limapuluh ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan, bergulirlah ketetapan yang tak bisa ditolak. Makhluk terakhir ini harus berada di dunia, untuk mengatur dan menerapkan perintah dari langit. Itulah kamu, wahai manusia. Jasadmu diciptakan dari tanah lumpur yang berbau busuk, tapi ruhmu berasal dari tiupan Zat Yang Mahasuci, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Kau diciptakan bukan untuk tinggal selamanya di bumi (dunia) ini, maka karena itulah dicicipkan kepadamu tempat yang sesungguhnya merupakan rumahmu yang sejati, agar kau menyadari keberadaanmu di sini, bukan untuk kekal abadi. Langkahmu meniti jalanan penuh liku, mendaki, penuh duri, dengan jurang di kiri kanan, itulah yang sedang kau hadapi saat ini, esok dan sampai ajal menjemputmu. Demikianlah ketentuan yang sudah pasti. Sengaja disamarkan darimu agar kau waspada dalam menempuh perjalanan ini. Sekali berarti, sudah itu mati. Tapi jangan kau lupa kematian bukan peristirahatan abadi apalagi terakhir, karena di seberang kematian ini ada hidup terakhir yang abadi. Perjalanan dan kepayahanmu kan berakhir saat kaki pertamamu menjejak lantai rumah sejatimu. Bergegaslah, karena teman-teman terbaikmu (para Nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh), ayahmu (Adam) dan ibumu (Hawa) sudah melambaikan tangan menanti kedatanganmu. Pulanglah, hai perantau sejati. Inilah akhir pengembaraanmu. Siapkanlah bekal, yang terbaik (yaitu takwa). Berikanlah buah tanganmu yang terbaik kepada mereka, dengan ucapanmu,”Inilah kitab (catatan amalan)ku, bacalah oleh kamu. Aku yakin bahwa aku pasti menghadapi perhisaban ini.” Setelah kaki kananmu menginjak lantai surga, barulah trasa lega dan lapang hatimu. Hilanglah semua kesengsaraan dan kepayahan yang memberati langkahmu selama di dunia, seakan tak berbekas. Wallahul Muwaffiq. 
 Insya Allah Bersambung
Sumber: forumsalafy.net
Read More