Kajian Berbahasa Jawa

Kajian Berbahasa Jawa

JANGAN LEWATKAN !!!

TERKHUSUS BAGI PARA ORANG TUA

KAJIAN BERBAHASA JAWA

BERSAMA : AL-USTADZ AHMAD SYAIBANI
(Pengasuh Ponpes Anwarussunnah Petanahan Kebumen)

Bagi anda yang berada di Petanahan dan sekitarnya, bisa mengikuti langsung di MASJID AZZUHUD Petanahan. Bisa mengikutinya juga di Radio Anwarussunnah Petanahan 107.9 Mhz atau di streaming http://anwarussunnahpth.blogspot.com

---{ RUTIN SEUSAI SHALAT SHUBUH }---

(BAGI ANDA YANG INGIN MENDENGARKANNYA DI LAIN WAKTU BISA MENDOWNLOAD REKAMANNYA insya Allah)

Mulai Tanggal 31 Desember 2013


[ UPDATE insya Allah ]

Read More
Rekaman Kajian Petanahan

Rekaman Kajian Petanahan


Bismillahirrahmanirrahim ...

Dengan mengharap ridho Allah ta'ala

HADIRILAH !!!
KAJIAN ISLAM ILMIAH

Tema :
DEMOKRASI
DALAM PANDANGAN ISLAM

Pemateri :
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
(Pengasuh Ponpes Al-Bayyinah Sedayu Gresik Jawa Timur)

Waktu :
Sabtu, 2 Rabiul Awwal 1435 H / 4 Januari 2014

Pukul :
09.30 s/d selesai

Tempat :
Masjid Darussalam
Komplek Ponpes Anwarussunnah
Rt. 02/04 Karang Duwur Petanahan Kebumen

Kajian ini insya Allah LIVE !!! di Radio Anwarussunnah 107.9 Mhz



Read More
Membantu Tercapainya Kebutuhan Seorang Muslim

Membantu Tercapainya Kebutuhan Seorang Muslim


Membantu Tercapainya Kebutuhan Seorang Muslim
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi, Lc

Adalah sikap tercela manakala seorang hanya memikirkan maslahat dirinya sendiri tanpa peduli dengan nasib saudaranya. Bahkan seorang tidak akan dikatakan sebagai mukmin yang sempurna imannya bila tidak menyukai kebaikan bagi saudaranya seperti apa yang ia suka untuk dirinya. Nabi bersabda :
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“ Tidak beriman salah seorang kalian sampai ia cinta bagi saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya”. [Hr. Al Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik]

Hal yang demikian karena masyarakat muslimin seperti satu tubuh, bilamana ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka anggota tubuh yang lainnya akan ikut merasakannya. Seorang muslim yang baik niscaya akan bahagia bila muslim yang lainnya berada dalam keadaaan yang baik dan sebaliknya bila mengetahui saudaranya berada dalam kondisi kesulitan maka dia bersedih dan ikut memikirkan upaya melepaskan penderitaan saudaranya.
Sungguh, bila seorang bisa menyuguhkan kebaikan bagi saudaranya seiman berarti dia telah  mengukir kemuliaan dalam hidupnya yang kelak akan senantiasa terkenang. Dia juga akan meraih predikat sebaik-baiknya orang. Nabi bersabda :
خَيْرَ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“ Sebaik-baik orang adalah yang paling berguna bagi orang lain”. [Hr.Al Qudho’ie dan dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shohihah No: 426]
Usaha orang seperti ini tak akan sia-sia sebagaimana firman Alloh :
ﮗ  ﮘ  ﮙ     ﮚ    ﮛ  ﮜ   ﮝ  ﮞ  ﮟ       ﮠ  ﮡ  ﮢ ﭼ     المزمل: ٢٠
“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Alloh sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya”. [QS Al Muzammil : 20]

Bantuan dari Allah akan terus mengalir kepadanya selama dia mau membantu saudaranya karena tentunya balasan sesuai dengan perbuatan.
·        Memberi Syafa’at
Diantara kebaikan yang dianjurkan dan besar keutamaannya tersebut adalah memberi syafa’at untuk seorang dihadapan orang lain. Dan yang dimaksud dengan syafa’at disini adalah permohonan kabaikan untuk orang lain yaitu seorang menjadikan dirinya sebagai perantara untuk mengemukakan hajat/kebutuhan saudaranya dihadapan orang lain agar dia membantu tercapainya tujuan saudaranya. Syafi’ (pemberi syafa’at/perantara) ini biasanya orang yang terpandang ditengah-tengah masyarakat sehingga kemungkinan besar permintaan orang seperti ini untuk saudaranya akan dikabulkan oleh penguasa dan semisalnya.
Hendaknya, kedudukan yang dimiliki seorang bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan nasib saudaranya-saudaranya seiman. Nabi bersabda :
اِشْفَعُوْا فَلْتُؤْجَرُوْا
“Berilah syafaat niscaya kalian akan diberi pahala”. [Muttafaqun’alaihi dari hadits Abu Musa al Asy’ari]
Hadits ini mengandung faedah yang besar yaitu bahwa seorang hamba seyogiyanya berusaha dalam perkara-perkara kebaikan. Sama saja apakah usaha ini akan membuahkan hasil secara sempurna atau sebagiannnya atau bahkan hasilnya nihil. Diantara usaha tersebut  adalah memberi syafaat bagi orang lain dihadapan penguasa, pembesar dan orang-orang yang kebutuhannya terkait dengan mereka.
Umumnya orang itu malas untuk memberi syafa’at/menjadi perantara bagi orang lain bila dia belum yakin akan diterima syafa’atnya. Dengan sikap ini seorang telah melewatkan kebaikan yang besar berupa pahala dari Alloh dan melewatkan kesempatan untuk berbuat baik kepada saudaranya. Oleh karena itu Nabi memerintahkan para sahabat untuk membantu tercapainya kebutuhan saudaranya agar mereka bersegera meraih pahala disisi Alloh. Syafaat yang baik itu dicintai Aloh sebagaimana firmanNya:
ﯦ  ﯧ  ﯨ  ﯩ  ﯪ  ﯫ     ﯬ  ﯭ النساء: ٨٥
“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya”. [QS.An Nisa : 85]
Dengan syafa’at ini seorang telah bersegera meraup pahala dari Alloh dan bersegera menyuguhkan kebaikan bagi saudarannya dan juga bisa jadi syafa’atnya menjadi sebab tercapainya seluruh kebutuhan saudaranya atau sebagiannya,dan seperti itu memang realitanya. Dengan syafa’at ini juga seorang telah menutup pintu yang mengarah kepada sikap pesimis karena mencari dan usaha merupakan pertanda adanya harapan untuk tercapainya tujuan.[Lihat Bahjatul Qulub karya Syaikh As Sa’di Syarh hadist ke-14]
·        Tidak Memberi Syafa’at pada perkara yang haram
Anjuran untuk menjadi perantara agar tercapinya kebutuhan seorang seperti yang telah lalu penyebutannya hanyalah pada perkara-perkara kebaikan dan yang tidak ada pelanggaran syareat padanya. Oleh karenanya bila seorang memberi syafa’at untuk orang lain dihadapan penguasa misalnya agar orang tersebut diberi ijin membangun tempat-tempat maksiat maka syafaat ini haram hukumnya dan dia ikut menanggung dosa sebagaimana firman Alloh :
ﯯ  ﯰ  ﯱ  ﯲ  ﯳ  ﯴ  ﯵ       ﯶ النساء: ٨٥
“Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.” [QS an Nisa : 85]
Termasuk syafa’at yang haram adalah yang ada padanya bentuk pemudhorotan, misalnya kamu mengusulkan seseorang kepada yang punya kebijakan agar orang itu menduduki suatu jabatan yang jabatan tersebut telah ada yang memegangnya dari orang yang mumpuni. Bila kamu melakukan hal ini berarti kamu telah ikut mendzalimi hak saudaramu dan ikut andil dalam meretakkan sendi-sendi ukhuwwah (persaudaraan) ditengah-tengah ummat.
Diantara syafa’at yang haram juga adalah yang padanya ada bentuk melindungi orang yang berbuat kejahatan yang harus dihukum agar dia tidak dihukum.Nabi bersabda :
مَنْ حَالَّتْ شَفَاعَتَهُ دُوْنَ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ فَقَدْ ضَادَ اللهَ
“Barangsiapa syafa’atnya menghalang-halangi suatu had (hukuman yang ada ketentuannya dalam syareat) dari had-hadnya Alloh maka dia telah menentang Alloh”. [Hr. Abu Dawud dll.Asy Syaikh Al Albani mengatakan Shohih dalam shohih al jami’ No: 6196]
Dahulu ada seorang wanita dari bani Makhzum mencuri dan hukuman potong tangan akan diberlakukan padanya. Maka keluarga wanita itu datang pada shahabat Nabi yang bernama Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Nabi, mereka meminta kepada Usamah untuk menyampaikan kepada Nabi agar beliau menggugurkan hukuman tersebut. Usamah pun menyampaikan kepada Nabi.maka Nabi menegurnya dengan mengatakan :”Apakah kamu akan memberi syafa’at pada suatu had dari had-hadnya Alloh?!. Lalu Nabi berdiri dan menyampaikan ceramahnya (yang artinya):”Wahai manusia, hanyalah yang menjadikan orang sebelum kalian tersesat adalah karena mereka apabila orang yang mulia itu mencuri mereka membiarkannya dan apabila yang mencuri orang yang lemah maka mereka menegakkan padanya hukuman ditengah-tengah mereka. Demi Alloh, andaikata Fatimah puteri (Nabi) Muhammad itu mencuri niscaya Muhammad akan memotong tangannya”.[lihat Shohih al Bukhori No: 6788]
Ulama mengatakan bahwa larangan memberi syafa’at dalam perkara seperti ini apabila pelaku kejahatan tersebut telah dihadirkan dihadapan penguasa. Adapun bila belum sampai dihadirkan dan diupayakan adanya mediasi untuk tidak dipotong atau orang yang dicuri barangnya memaafkan maka hukuman bisa gugur atas pencuri tersebut. Terlebih bila sipencuri itu ada semacam penyesalan dan bukan orang yang terkenal jahat”.[lihat Fathul Bari 12/87-96 cetakan assalafiyah yang pertama)
Berkata Al Qodhi’Iyadh : “Adapun orang-orang yang terus-menerus melakukan kejahatan dan terkenal kebatilannya maka mereka tidak boleh diberi syafa’at (pembelaan agar tidak dihukum), hal ini untuk memunculkan efek jera”.[Fathul Bari10/451]
·        Syafa’at ditolak?
Oang yang memberi syafa’at saudaranya telah meraih pahala meski syafa’atnya tidak diterima. Cukuplah dengan syafa’at ini dia telah membuktikan kecintaan dan kepeduliannya terhadap problem saudaranya. Sedangkan keberhasilan usahanya bukan menjadi tanggung jawabnya. Orang yang ditolak syafa’atnya tak perlu kecewa apalagi memendam kebencian kepada yang menolaknya, karena Rosululloh, pimpinan seluruh manusia, pun pernah tidak diterima syafa’atnya.
Dahulu Bariroh dan suaminya, Mughits, adalah menyandang status sebagai budak. Lalu Bariroh dimerdekakan oleh tuannya. Ketentuannya, bila seorang isteri itu telah merdeka dan suaminya masih statusnya budak maka wanita itu punya pilihan, adakalanya ingin terus melanjutkan hubungan rumah tangga atau kalau tidak mau diberi kebebasan untuk bercerai/berpisah dengan suaminya. Bariroh memilih pisah dengan Mughits. Mengetahui yang sepeti ini Mughits tak kuasa menahan air matanya. Dia begitu berat pisah dengan Bariroh karena sangat mencintinya. Mughits sambil menangis mondar-mandir dibelakang Bariroh. Melihat seperti itu Rosululloh iba kepada Mughits maka beliau memanggil Bariroh seraya memberi tawaran kepadanya untuk kembali kepada Mughits, Bariroh bertanya: “Wahai Rosululloh apakah ini perintah dari anda kepadaku? Beliau menjawab :”Saya hanya memberi syafa’at”. Bariroh mengatakan:”Aku tidak ingin kembali kepadanya”.[lihat Shohih Al Bukhori 5283]
Diantara faedah kisah tersebut:
1.      Bolehnya seorang untuk tidak mengikuti saran orang lain dalam perkara yang bukan wajib.
2.      Disunnahkan memasukkan kebahagiaan kepada seorang muslim.
3.      Orang yang memberi syafa’at mendapat pahala sekalipun permintaannya tidak dikabulkan.
[Fathul Bari 9/414]
Disebutkan dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Qudamah bahwa ia banyak menuliskan syafa’at bagi orang-orang yang datang (meminta) kepadanya untuk disampaikan kepada penguasa. Maka, pada suatu hari petugas yang mengurusi (permohonan-permohonan) mengatakan kepada Ibnu Qudamah :”Sesungguhnya Anda menulis kepada kami (permohonan) orang-orang yang kami tidak ingin menerima syafa’at bagi mereka dan kami (juga) tidak ingin menolak tulisanmu. Ibnu Qudamah berkata: “Adapun saya maka saya telah membantu keinginan orang  yang datang (meminta bantuan) kepadaku sedangkan kamu (maka terserah). Jika kamu ingin (kamu) menerima tulisanku dan jika tidak maka tidak mengapa. Petugas tersebut mengatakan : “Kami tidak akan menolaknya selama-lamanya”.[ Dinukil dalam kitab Ma’alim fi thoriqi tholabil ilmi hal 161 dari kitab dzail thobaqot Al Hanabilah]
·        Berzakat dengan kedudukan
Membantu orang lain tak selamanya harus dengan harta atau tenaga, bahkan kedudukan yang kamu miliki bisa kamu manfaatkan untuk memperjuangkan nasib saudara-saudaramu.
Dahulu ada seorang (alim) bernama Al Hasan bin Sahl datang kepadanya seorang meminta syafa’at darinya dalam suatu keperluan. Al Hasan mengabulkan keinginannya, lalu orang tersebut datang mengucapkan terimakasih kepadanya. Maka , Al Hasan bin Sahl mengatakan: “Mengapa kamu berterimakasih kepada kami, padahal kami memandang bahwa kedudukan (juga) ada zakatnya seperti harta! Lalu Al Hasan menyebutkan syairnya yang artinya kurang lebih sebagai berikut :
-         Diwajibkan atasku memberi zakat yang dimiliki tanganku.
-         Sedangkan zakat kedudukan adalah dengan membantu dan memberi syafa’at
-         Bila kamu punya (harta) maka berdermalah, dan jika belum mampu
-         Maka curahkan segala daya dan upayamu untuk memberi manfaat.
[Al Adab Asy Syar’iyyah]
Disebutkan dalam biografi Abdulloh bin ‘Utsman (‘Abdan) Syaikhnya Imam Al Bukhori bahwa ia mengatakan: Tidaklah seorang meminta kepadaku suatu kebutuhan kecuali aku membantunya dengan diriku sendiri, jika tidak tercapai maka aku bantu dengan hartaku, bila belum tercapai maka aku meminta bantuan teman-temanku dan bila belum tercapai maka aku meminta bantuan kepada penguasa.
Imam Ibnu Muflih menyebutkan bahwa Imam Ibnul Jauzi berkata: adalah Harun Ar Raqqi telah berjanji kepada Alloh untuk tidak menolak seorangpun yang meminta kepadanya agar menuliskan syafa’at untuknya kecuali ia menuliskannya. Maka, pernah datang kepadanya seorang lelaki dan mengatakan bahwa anaknya tertawan di Romawi, lelaki tersebut meminta kepadanya untuk menulis kapada raja Romawi agar melepaskan anaknya. Ar Roqqi mengatakan: “Aduh kamu, darimana raja Romawi mengenalku, dan jika ia bertanya tentang aku, maka akan dijawab bahwa dia (aku) muslim lalu bagaimana dia akan mengabulkan hakku?! Orang yang meminta tadi mengatakan: sebutkan janjimu kepada Alloh ta’ala. Maka Ar Roqqi menuliskan untuknya kepada raja Romawi. Tatkala sang raja membaca tulisannya ia bertanya: siapa orang ini? Lalu dikatakan kepadanya bahwa orang ini telah berjanji kepada Alloh untuk tidak diminta agar menuliskan syafa’at kecuali ia menuliskannya kepada siapapun dia. Sang raja berkata: “Orang ini berhak dikabulkan, lepaskanlah tawanannya…”[Al Adab Asyar’iyyah  2/172]

والله تعالى أعلم بالصواب

Read More
Bimbingan Islam untuk Mendapat Keturunan yang Shalih 7 (Akhir)

Bimbingan Islam untuk Mendapat Keturunan yang Shalih 7 (Akhir)

Ritual-ritual yang Mungkar Seputar Kehamilan dan Kelahiran
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi


Selamatnya kandungan dan sehatnya bayi yang dilahirkan merupakan dambaan setiap orang yang ingin memiliki anak keturunan. Dan untuk terwujudnya harapan tersebut umumnya manusia menempuh beragam cara dari upaya-upaya medis sampai bahkan mistis. Namun beda halnya dengan seorang muslim yang taat beragama, dia tidak mau asal-asalan dalam melakukan suatu upaya karena sikap, keyakinan dan perbuatannya akan selalu ia cocokkan dengan nilai-nilai agamanya yang luhur dan yang selaras dengan akal sehat.

·        Ritual yang mungkar seputar kehamilan
Sesuatu dikatakan mungkar apabila sesuatu itu dihukumi tidak baik, tidak boleh atau dinyatakan keharamannya oleh syariat, meskipun menurut pandangan sebagian orang itu baik dan sah-sah saja.
Di setiap daerah atau suku biasanya ada ritual-ritual khusus terkait kehamilan yang sulit bagi kita untuk membatasi jumlahnya dengan bilangan, karena saking banyaknya. Dan bagi sebagian orang ritual-ritual tersebut merupakan budaya leluhur yang harus dilestarikan sehingga orang yang tidak mau melakukannya akan dicibir di tengah-tengah keluarga dan masyarakatnya atau bahkan mungkin akan mendapatkan teror. Bagi mereka ritual-ritual yang merupakan warisan leluhur adalah menu wajib yang terkadang lebih wajib dari pada shalat berjama’ah bahkan shalat lima waktu.
Dan yang amat disayangkan bahwa masih ada sebagian masyarakat muslimin yang ikut-ikutan menghidupkan ritual-titual tersebut padahal tidak sedikit ritual-ritual itu hanyalah mitos yang tak ada bukti nyatanya dan sebagiannya diadopsi dari budaya non islam.
Diantara bentuk ritual tersebut adalah adat mitoni (adat Jawa), upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar emberio dalam kandungan dan ibu yang mengandungnya senantiasa memperoleh keselamatan. Upacara-upacara yang dilakuan dalam masa kehamilan yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung kedalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang/ janur, memecah priuk dan gayung dan seterusnya. Upacara ini juga tidak bisa dilangsungkan disembarang hari dan tempat. Diantara maksud ritual ini adalah agar sang ibu kelak ketika melahirkan diberi kemudahan. Ritual mitoni ini juga tidak hanya dilakukan oleh wanita yang mengandung untuk yang pertama. Demikian pula cara-caranya terkadang satu tempat berbeda dengan tempat yang lain. Bagi seorang muslim, ritual tersebut dan semisalnya sangat sulit diterima oleh akal yang sehat terlebih bila dilihat dari kacamata agama. Bila ada yang mengatakan bahwa ritual tersebut hanya sebuah ikhtiar/ usaha, maka jawabannya bahwa suatu usaha akan dibenarkan bila memang menjadi sebab untuk tercapainya tujuan disamping juga tidak bertentangan dengan agama. Sementara disini padanya ada bentuk mengaitkan sesuatu kepada perkara yang bukan menjadi sebab yang diharapkan terjadinya sesuatu dan padanya ada bentuk ketergantungan kepada selain Allah yang tentunya telah mencacati terhadap keyakinan seorang.
Bila ada yang mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah tradisi leluhur yang menunjukkan kepada kita bahwa negeri ini kaya akan budaya dan peradaban. Maka dikatakan kepadanya bahwa memang hukum asalnya adat kebiasaan manusia yang biasa mereka jalankan di tengah masyarakat hukumnya boleh (mubah) asalkan tidak berseberangan dengan kaidah-kaidah agama. Sedangkan disini tidak demikian. Oleh karenanya, mengapa kita tidak merubah tradisi yang keliru yang padanya ada bentuk penyia-nyiaan terhadap waktu, harta, tenaga dan bahkan mencederai akidah dengan upaya-upaya yang sesuai dengan syariat semisal memohon kepada Allah kemudahan dan kebaikan serta upaya-upaya yang dibenarkan secara medis dan nalar yang sehat. Allah berfirman :
ﯰ  ﯱ  ﯲ  ﯳ  ﯴ ﭼ    البقرة: ١٨٦
"Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku". [QS al Baqarah : 186]
Ada pula tradisi neloni atau ngupati (ngapati) yaitu tradisi membuat makanan tertentu untuk disedekahkan kepada para tetangga ketika usia kandungan tiga bulan atau empat bulan dengan tujuan yang tidak jauh dari yang tersebut di atas
Amal sedekah memang salah satu amalan yang bisa menjaga seorang dari kejelekan dengan seijin Allah. Akan tetapi yang jadi masalah, mengapa jenis makanan yang disedekahkan harus ada ketentuannya semisal nasi ketan yang dibungkus, buah pekarangan, jenis umbi-umbian, labu/waluh dan semisal ?! lagi pula mengapa harus ditentukan dengan bulan tertentu dari kehamilan seorang perempuan ?!
Ada pula yang lagi hamil dia membaca suratan tertentu dari surat-surat Al Qur’an seperti surat Yusuf dan surat Maryam agar anaknya kelak ketika lahir shalih atau shalihah, ganteng atau cantik dan yang semisal. Sebatas yang kami ketahui hal ini tidak datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, sehingga termasuk dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat-buat perkara baru dalam agama kami yang tidak ada padanya maka ia tertolak”. [Hr.al Bukhari dan Muslim]
Seandainya orang yang hamil membaca Al Qur’an kemudian ia berdo’a semisal : “Wahai Allah, dengan bacaan al Qur’an ini, mudahkanlah aku dalam melahirkan, atau jadikanlah anakku menjadi anak yang shalih”, maka yang seperti ini merupakan tawassul yang dibolehkan.
Diantara perkara yang mungkar yang dilakukan / diyakini oleh sebagian orang bahwa orang yang hamil tidak boleh duduk ditengah pintu, tidak boleh makan dengan piring nasi di letakkan di atas tangan dan tidak boleh membunuh binatang. Demikian pula suaminya ada pantangan-pantangan tertentu yang bila dicermati itu hanyalah takhayul.
Dan yang sampai kepada kesyirikan adalah membuat rajah-rajah untuk mudah melahirkan. Karena rajah-rajah ini semacam jimat yang seorang menggantungkan nasibnya kepadanya. Pada rajah-rajah itu ada huruf/kalimat-kalimat serta angka-angka yang tidak dipahami. Demikian pula diantara yang termasuk kesyirikan seorang yang hamil mendatangi kuburan tertentu lalu meminta keselamatan dan kemudahan kepada penghuninya.

·        Kemungkaran di hari kelahiran
Diantara kemungkaran di hari melahirkan adalah menanganinya para lelaki dalam proses kelahiran padahal disana ada petugas atau bidan perempuan .
-          Demikian pula keyakinan sebagian orang bahwa bayi bila terlahir saat bulan purnama maka anak tersebut bila laki-laki kuncup kemaluannya akan melebar sehingga seperti sudah terkhitan. [Ahkamul Maulud fissunnah al muthahharah : 139]

·        Ritual setelah melahirkan anak
Seperti yang sudah disebutkan bahwa setiap daerah atau suku memiliki budaya dan ritual-ritual yang berbeda-beda. Dan tidak memungkinkan untuk ditampilkan sebagian besarnya disini.
Diantara tradisi yang mungkar adalah upacara mendem (mengubur) ari-ari atau plasenta. Dalam prakteknya upacara adat ini terkadang berbeda-beda caranya. Ada yang caranya dengan dicuci plasenta tersebut lalu dimasukkan kedalam periuk/ kendi yang terbuat dari tanah. Sebelum plasenta dimasukkan kedalam kendi ada beberapa barang yang ikut dimasukkan sebagai persyaratan semisal minyak wangi, jarum, beras merah, kunyit, garam, pensil, buku, bawang merah dan lain-lain. Setelah itu diletakkan di samping rumah dan diberi lampu. Dan bagi suku masyarakat tertentu caranya berbeda, ada yang caranya di labuh di sungai atau dilarung di laut. Mereka berharap supaya bayinya itu pintar, banyak rejeki, jalannya terang, bila bepergian tahan lama, suka merantau dan semisalnya. Sebagian mereka meyakini bahwa plasenta adalah saudara kembarnya bayi yang harus dirawat. Ritual yang seperti ini tentunya bukan dari islam, dan seandainya ari-ari harus di kubur lalu mengapa harus ada ritual-ritual seperti itu?! Meskipun misalnya diiringi dengan dzikir-dzikir dan lantunan ayat suci karena ini termasuk kebid’ahan.

·        Kaidah-kaidah untuk mengenal bahwa sesuatu itu dihukumi bid’ah
Sesunnguhnya kebid’ahan yang telah ditegaskan oleh syariat tentang kesesatannya adalah :
1.  Semua ucapan, perbuatan atau keyakinan yang menyelisihi sunnah walaupun sumbernya adalah ijtihad.
2.  Setiap perkara yang dijadikan bentuk pendekatan kepada Allah padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya.
3.     Semua perkara yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan adanya nash atau yang ada penjelasan dari syariat padahal tidak ada maka itu bid’ah, kecuali jika ada sumbernya dari Sahabat Nabi dan amalan itu dilakukan oleh Sahabat tersebut secara berulang-ulang tanpa ada pengingkaran.
4.      Apa-apa yang di masukkan kedalam ibadah dari adat istiadat orang kafir.
5.   Apa yang ditegaskan oleh sebagian ulama, terlebih ulama belakangan, tentang sunnahnya (sesuatu) padahal tidak ada dalilnya.
6.    Semua bentuk ibadah yang tidak datang tata caranya kecuali dalam hadits dlaif (lemah) atau maudlu’ (palsu).
7.      Bentuk berlebih-lebihan dalam ibadah.
8.  Semua ibadah yang tidak diberi batasan oleh peletak syariat lalu manusia memberikan batasan-batasan (persyaratan-persyaratan) seperti tempat, waktu, bentuk dan jumlah tertentu. [Ahkamul Janaiz 306]

·        Penutup
Sebagai penutup, kami akan menyebutkan hukum membatasi keturunan. Sesungguhnya yang ditunjukkan oleh nash-nash (dalil-dalil) syariat dari al Qur’an dan Sunnah, demikian pula ijma’ dan qiyas telah menetapkan bahwasanya tidak boleh secara mutlak membatasi keturunan dan tidak boleh mencegah kehamilan jika tujuannya adalah takut fakir. Karena Allah adalah Dzat pemberi rejeki lagi maha kuat. Membatasi kehamilan telah bertentangan dari tujuan syariat (yaitu perintah) untuk memperbanyak umat islam.
Adapun melakukan upaya pencegahan kehamilan yang bersifat sementara dalam kondisi personal karena adanya mudarat yang nyata seperti kondisi seorang wanita tidak bisa melahirkan secara normal dan memerlukan kepada operasi bedah untuk mengeluarkan janinnya atau karena wanita tesebut sering hamil sementara kehamilan menjadikannya sangat letih (repot) sehingga ia ingin mengatur kehamilannya, umpamanya setiap dua tahun dan semisal maka yang seperti ini dibolehkan dengan syarat mendapat ijin dari suami dan tidak ada madharat bagi wanita itu. Dalilnya, bahwa para Sahabat dahulu melakukan ‘azl (mengeluarkan seperma di luar vagina isterinya) di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar isteri-isteri mereka tidak hamil, dan mereka tidak dilarang dari yang demikian. Dan terkadang mencegah kehamilan adalah suatu yang harus dalam kondisi terbuktinya mudharat yang jelas (baginya). [al Fiqhu Waushulluhu lishshafi ats tsalits atstsanawi halaman 62. Dan dipersilakan melihat ketetapan Hai’ah Kibar ‘ulama no 42 pada tanggal 13/4/1396 H]



والله تعالى أعلم بالصواب والحمدلله رب العالمين, وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه
Read More